Cerita pendek oleh Nuril Agri Famela. Mahasiswi UIN Sultan Syarif Kasim Riau Jurusan FKIP Matematika.
Syifa Nisa Aulia, begitu nama lengkapnya. Aku memanggilnya
dengan sebutan Bunda Nisa, karena Bunda telah mempunyai suami dan anak.
Kehidupan keluarga Bunda begitu harmonis. Berbingkaikan cinta dan kasih sayang
yang tulus serta diperindah dengan kemantapan iman mereka kepada Sang Maha
Kuasa. Namun dibalik kebahagiaan yang Bunda rasakan bersama suaminya, ternyata
rumah tangga mereka pernah diguncang oleh prahara rumah tangga yang membuat
Bunda berkeinginan untuk bercerai dengan suaminya. Syukurnya
Allah memberikan jalan untuk masalah mereka.
|
Setelah menamatkan S1 di FKIP
Matematika, Bunda diterima menjadi guru Matematika disalah satu SMP yang ada di
daerah ku. Bunda mulai mengajar di SMP tersebut pada tahun 2002. Aku menjadi
murid Bunda pada tahun 2008, saat aku kelas 2 SMP. Aku senang belajar
Matematika dengan Bunda. Karena Bundalah aku menyukai pelajaran yang mengerikan
bagi sebagian orang ini, termasuk aku. Sejak SD, aku tidak senang belajar
Matematika karena rumit dan membosankan. Tapi, ketika aku bertemu Bunda semua
berubah. Bunda dengan sabar dan semangat mengajarkan ku Matematika dan ia
berhasil membuat ku cinta dengan pelajaran tersebut. Bundalah guru pertama yang
merubah pandangan ku terhadap Matematika. Kini Matematika menjadi salah satu
pelajaran favorit ku,sangat favorit. Itulah sebabnya aku memanggilnya bukan
Ibu, tetapi Bunda. Jiwa keibuannya yang begitu hangat dan kesabarannya dalam
menndidik dan memberikan ilmu kepada muridnya. Tidak hanya aku yang
memanggilnya dengan sebutan “Bunda”, tetapi murid-murid yang lain pun ikut
memanggilnya Bunda.
Sore itu jadwal aku dan 2 orang
teman ku mengikuti pelajaran tambahan Matematika di rumah Bunda. Kami hanya
bertiga karena teman-teman ku yang lain sedang tidak bisa mengikuti pelajaran
tambahan tersebut. Setelah selesai belajar, aku, Lia, dan Via hendak pamit
pulang. Tapi ternyata di luar sana sedang hujan lebat, sehingga kami tidak bisa
pulang. Bunda pun menyuruh kami untuk menunggu di rumahnya sampai hujan reda.
“Huuuh,
lebat sekali hujan di luar sana ya Bun..”, kata Lia sambil menggesek-gesekkan
kedua telapak tangannya.
“Ia,
tapi hujan itu rahmat dari Allah yang harus kita syukuri ya,”kata Bunda.
“Betul
betul betul betul..”, kata Via.
“Oh
iya nak dingin-dingin gini asyiknya minum dan makan yang hangat-hangat kan, yuk
bantuin Bunda sebentar di dapur!”, ajak Bunda sambil merangkul kami bertiga.
Di dapur, kami pun membantu Bunda
membuat teh tarik. Sementara itu Bunda menggoreng adonan goreng pisang yang
sudah Bunda buat siangnya. Butuh waktu 15 menit untuk menggoreng adonan
tersebut. Setelah siap, kami pun menyajikannya di ruang keluarga Bunda.
“Wah,
mantap banget Bunda. Bunda tahu aja deh kalau dingin-dingin gini asyiknya yang
beginian,hehehehe”,kata Lia.
“Bunda
goreng pisangnya uuueeenaaaaaaak banget ,kayak yang diiklan-iklan gitu Bun,
krenyes-krenyes,,ajiiib..”,kata ku yang sedang menyantap goreng pisang buatan
Bunda.
“Hahaha
kalian paling bisa ya”,kata Bunda sambil menyantap juga goreng pisang tersebut.
“Lihatlah
Bun, Via aja lahap banget makannya Bun,,nikmat banget ya Via?”,kata Lia
menggoda Via yang tengah asyik menyantap goreng pisang Bunda.
“Iiih
Lia apaan sih, kan aku jadi malu..”,kata Via.
“Eeee
gak apa-apa kok nak, habisin aja. Dibuatkan untuk dimakan..”, kata Bunda.
“Ouh
iya Bunda, Ayah, kak Faddam, sama kak Husna pulang jam berapa Bun?”,tanya ku ke
Bunda.
“Biasanya
jam 5 sore mereka sudah pulang, mungkin karena hujan lebat mereka berteduh
dulu”, kata Bunda.
Kak
Faddam dan kak Husna sudah bekerja. Kak Faddam lulusan dari sebuah Universitas
pada jurusan perminyakan. Sedangkan kak Husna seorang perawat disalah satu
rumah sakit yang ada di daerahku. Kedua anak Bunda ramah dan santun kepada
Bunda dan suaminya. Ini semua juga berkat didikan dari Bunda dan Sang suaminya.
“Bun,
mau gak cerita gimana perjalanan kisah cinta Bunda dengan Ayah,,hehehe soalnya
Bunda terlihat harmonis banget. Boleh dong Bun bagi-bagi cerita sama kami,
hehehe,”kata ku kepada Bunda.
“Haha
boleh, bener nih mau dengar cerita bunda?”,tanya Bunda.
“Mau
Bun, kali aja kisah Bunda bisa menginspirasi kami,hehehe”,kata Via.
“Maklum
Bun, Via lagi kasmaran tu Bun,hehehe,”goda Lia kepada Via.
“Iiih
Lia sok tau deh, udah-udah aku mulu yang dari tadi diledekin. Mending kita
denger cerita dari Bunda,”kata Via.
“Ia-ia
jangan marah ya Via, aku kan cuma bercanda”, kata Lia.
“Aduuuh
sudah teman-teman. Yuk kita dengerin Bunda bercerita,,asyiiik..,”kata ku. Bunda
pun menceritakan kisahnya dengan Ayah.
Bunda
mencintai Ayah karena sifat Ayah yang apa adanya. Bunda begitu menyukai
perasaan nyaman dan tentram yang muncul dihati Bunda,ketika Bunda bersanding
dengan Ayah. Meski Ayah tidak terlalu romantis, namun ia lelaki yang taat
beribadah, tidak perokok,rajin, lelaki yang bersih, dan pekerja keras.
Bunda menjalani masa perkenalan
dengan Ayah selama 2 tahun. Beda umur Bunda dan Ayah adalah 4 tahun. Setelah
Bunda menjadi guru selama 1 tahun, Ayah pun melamar Bunda. Ayah yang saat itu
sudah bekerja disalah satu perusahaan. Ayah dan Bunda pun memutuskan untuk
menikah.
Setelah menikah hari-hari Bunda dan
Ayah terasa berbeda. Hari-hari mereka terasa indah dan selalu ditaburi pesona
cinta. Ditambah lagi pada usia pernikahan mereka 1 tahun, lahir seorang anak
laki-laki tampan yang diberi nama Faddam Khaliq. Lengkap sudah rasanya
kebahagian yang dirasakan Bunda dan Ayah.
Namun suatu hari ada sesuatu yang
tidak nyaman yang dirasakan Bunda. Setelah 5 tahun menjalani rumah tangga
bersama Ayah, Bunda merasakan kejenuhan dan lelah. Harus Bunda akui bahwa mulai
timbul rasa bosan dan lelah dengan kehidupan rumah tangganya dan alasan-alasan
Bunda mencintai Ayah dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Bunda juga mengakui bahwa ia wanita
yang berjiwa sentimental dan benar-benar sensitif serta halus perasaannya. Saat
itu Bunda merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan
belaian. Tetapi semua itu tidak lagi Bunda peroleh dari Ayah. Ayah yang saat
itu berbeda dari apa yang diharapkan Bunda pada awalnya. Rasa sensitif Ayah
yang kurang, dan ketidakmampuan Ayah dalam menciptakan suasana romantis dalam
perkawinannya telah memusnahkan semua harapan mengenai kehidupan yang ideal.
Suatu hari, Bunda memberanikan diri
menyatakan keputusan untuk bercerai. Saat itu Bunda hanya berdua dengan Ayah di
rumah,karena kak Faddam sedang berlibur di rumah neneknya.
“Mengapa?”,
Ayah bertanya dan terkejut.
“Aku
lelah, kamu tidak pernah memberikan cinta yang aku inginkan”, kata Bunda yang
saat itu suasana hatinya sedang kacau dan emosi.
Ayah terdiam di depan komputernya
mendengar pernyataan Bunda. Bunda melihat Ayah sedang mengerjakan sesuatu di
depan komputernya, padahal ia tidak melakukan apa-apa. Bunda merasa begitu
kecewa melihat sikap Ayah, seorang laki-laki yang tidak dapat mengekspresikan
perasaannya. Bunda berfikir,”Apa lagi yang aku harapkan darinya?”
Dan
akhirnya Ayah pun bertanya kepada Bunda,”Apa yang dapat aku lakukan untuk
mengubah pikiranmu?”
Bunda
menatap mata Ayah dalam-dalam dan menjawab dengan perlahan,”Aku ada sebuah
pertanyaan untuk mu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya,maka aku akan
mengubah pikiranku terhadapmu.”
Sejenak
suasana menjadi hening,dan kemudian Bunda mengutarakan pertanyaannya untuk
Ayah.
“Seandainya
aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung, dan kita berdua
tahu, jika kamu memanjat gunung itu kamu akan mati. Apakah kamu akan
melakukannya untuk ku?”, tanya Bunda.
Ayah
pun termenung dan berkata,”Aku akan memberikan jawabannya besok pagi. Hati
Bunda saat itu langsung gundah mendengar ucapan dan reaksi Ayah yang tiba-tiba
terasa dingin.
Keesokan harinya, Ayah tidak ada di
rumah. Bunda pun menemukan selembar kertas dengan coretan tangan di bawah
sebuah gelas susu hangat yang bertuliskan,”Sayaang, aku tidak dapat mengambilkan bunga itu. Tapi,
izinkan aku untuk menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama itu
lantas menghancurkan hati Bunda. Bunda pun melanjutkan membacanya.
Sayaaang, disaat kamu
lelah mengetik dan memasukkan nilai-nilai muridmu ke laptop, kamu terlihat
geram karena kesalahan ketik yang sering kamu lakukan. Aku harus memberikan
jari-jariku untuk membantunya mengetik dan menyelesaikan tugasmu. Sayaang, kamu
selalu lupa membawa kunci ketika bepergian, dan aku harus memberikan kakiku
supaya dapat menendang pintu dan membuka pintu untukmu ketika pulang.
Kamu sangat senang
jalan-jalan keluar kota tetapi sering tersesat di tempat-tempat yang baru kau
kunjungi. Aku harus menunggu di rumah dan membantu mu agar dapat memberikan
mataku untuk menjelaskan jalan melalui peta. Sayaang, kamu selalu kelelahan
setelah seharian mengajar untuk murid-muridmu dan mengerjakan tugasmu sebagai
seorang istri dan ibu untuk anak-anakku. Dan aku harus memberikan tanganku
untuk memijat kaki mu yang penat.
Sayaang, kamu sangat
senang membaca buku dan membaca artikel di laptop mu yang kamu dapat dari
internet. Dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Aku harus menjaga mataku
agar ketika tua nanti, aku masih dapat memotong kukumu dan mencabuti ubanmu.
Sayaang….Tangan ku akan
selalu menggenggam tanganmu untuk menyusuri pantai, menikmati matahari pagi dan
pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang mekar dan indah seperti
cantiknya wajahmu. Tetapi sayaaang ku, aku tidak dapat mengambil bunga itu
untuk mati, karena….. aku tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi
kematianku.
Sayangku, aku tahu
diluar sana ada banyak orang yang mampu mencintaimu lebih dari aku mencintaimu.
Untuk itu sayangku, jika semua yang telah kuberikan dengan tanganku, kakiku,
mataku tidak cukup bagimu, aku tidak dapat menahan dirimu mencari tangan, kaki,
dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.
Tiba-tiba
air mata Bunda jatuh dan membasahi kertas tersbut, sehingga membuat tulisannya
menjadi kabur. Namun Bunda tetap berusaha melanjutkan untuk membacanya.
Dan sekarang sayaangku,
kamu telah membaca jawabanku. Jika kamu berpuas hati dengan semua jawaban ini
dan tetap menginginkan aku untuk tinggal dirumah ini, tolong bukakan pintu
rumah kita. Aku sekarang sedang berdiri di luar pintu menunggu jawabanmu. Dan
jika kamu tidak puas sayangku, biarkan aku masuk untuk mengambil
barang-barangku, dan aku tidak akan menyusahkan hidupmu lagi. Percayalah,
kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu.
Bunda pun langsung lari keluar dan
membukakan pintu. Di depan pintu Bunda melihat Ayah dengan wajah sendu sambil
tangan memegang roti kesukaan Bunda. Saat itu Bunda menyadari tidak ada orang
lain yang mencintai Bunda seperti Ayah mencintainya. Bunda pun memeluk Ayah dan
menangis. Bunda meminta maaf kepada Ayah atas sikap Bunda yang kekanak-kanakan.
Ayah pun memeluk dan mencium kening Bunda. Sungguh pagi itu sangat mengharukan.
Bunda mendapat sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga.
Setahun kemudian, Bunda dan Ayah
dikaruniai lagi seorang anak perempuan cantik yang diberi nama Husna Aulia.
Bunda dan Ayah begitu bahagia. Kebahagian terasa lebih lengkap karena dalam
kehidupan mereka dikaruniai dengan sepasang anak yang merupakan anugrah
terindah dari Allah. Mereka berjanji akan saling menjaga keutuhan rumah tangga
mereka.
“Nah,
itulah nak kisah Bunda dengan Ayah. Bunda bersyukur kepada Allah yang telah mengirimkan Ayah untuk
bunda. Bunda bahagia sekali. Bunda merasa Ayah pelengkap hidup bunda”,kata
Bunda sehabis menceritakan kisahnya.
“Huhuhu
Bunda mengharukan sekali, ternyata Ayah romantis juga ya Bun”,kata Via dengan
wajah senang.
“Ia
betul itu Bun, jarang-jarang Bun laki-laki zaman sekarang yang sesabar
Ayah,”balas ku ikut mengomentari.
Waktu
sudah menunjukkan jam 6 sore, hujan pun sudah berhenti. Ternyata di luar sana
Ayah,kak Faddam,dan kak Husna sudah pulang. Ketika kami ingin berpamitan
pulang,ternyata azan magrib berkumandang. Kak Husna meminta kami untuk
menunaikan sholat Magrib berjamaah. Kami pun setuju, dan kami segera memberi
kabar kepada kedua orang tua masing-masing untuk menjemput kami selepas magrib.
Selesai
menunaikan sholah Magrib, orang tua kami masing-masing ternyata sudah menjemput
kami. Kami pun berpamitan kepada Bunda dan
sekeluarga.
“Bunda, Ayah ,kak Faddam, dan kak Husna, kami berpamitan
dulu ya. Terimakasih untuk semuanya. Bunda, terimakasih ya Bunda untuk pisang
goreng, teh tarik dan ceritanya,hehehe,”bisikku ketelinga Bunda.
“Eheem,Nuril sama Bunda bisik-bisik apa itu”,tanya kak
Husna.
“Hehehe,,ada deh kak,rahasia kami bertiga dengan Bunda.
Nanti kakak juga tahu,Bunda pasti cerita ke kakak kok,hehehe,”kata ku dengan
senyum.
“Ok deh,hehehe. Yudah hati-hati ya adik-adik
pulangnya,”kata kak Husna.
“Ok kak, yudah Ayah, Bunda, kak Faddam, kak Husna kami
bertiga pulang ya, assalamu’alaikum,”kata ku.
“Wa’alaikumsalam,hati-hati ya nak”, kata Ayah dan Bunda.
Kami bertiga pun pulang. Aku merasa
begitu terkesan dengan kisah Bunda. Aku berdoa semoga keharmonisan keluarga itu
akan tetap terjaga hingga maut yang memisahkannya. Aku pun menceritakan hal
tersebut kepada mama dan papaku. Aku juga berharap semoga keluarga ku juga
harmonis. Aku begitu menyayangi mama dan papa ku. Bagi ku keluarga lebih
penting dari segala-galanya.
Pelajaran
yang aku dapatkan dari kisah Bunda adalah, cinta tidak harus di ungkapkan
dengan bunga dan pengorbanan yang tampak besar. Ternyata ketulusan dan saling
memahamilah yang paling terpenting. Cinta harus saling melengkapi dan menerima
keadaan pasangan kita apapun itu dia. Cinta akan terasa indah dan sempurna
karena hati satu sama lain selalu menerima kekurangan dan kelebihan
masing-masing.