Kali ini aku bakalan cerita
tentang tahta. Kebanyakan orang-orang sekarang sudah bangga dengan pangkat
tinggi yang sudah dimilikinya. Apalagi sudah bekerja dan tentunya kebanyakan
orang-orang berpikir ke uang terus. Apalagi saat ini ada isu-isu mengenai pembunuhan
karena tahta. Oke kali ini aku bakalan membahas mengenai tahta.
Umumnya, orang yang mendapat
kenaikan pangkat atau jabatan akan merasa gembira karena itu berarti ia akan
menduduki tempat yang lebih prestisius, memiliki anak buah, dihormati dan leluasa
memerintah bawahan, dan kemauannya selalu didengar. Dari bibirnya akan meluncur
kalimat Alhamdulillah. Namun,
benarkah demikian yang harus dilakukan oleh seorang muslim ketika derajat
duniawinya diangkat Allah?
Seorang sahabat yang mendapat
anugerah kenaikan jabatan mengucapkan astaghfirullah,
subhanallah, dan Alhamdulillah.
Raut wajahnya terlihat biasa-biasa aja. Bahkan, bukan aura kebahagiaan yang
terlihat melainkan kecemasan. Saya yang
sangat penasaran dengan ekspresi wajahnya itu memberanikan diri untuk bertanya.
Lalu ia menjawab, “Mengapa yang pertama kali saya ucapkan astaghfirullah? Karena seorang pemimpin mengemban amanah yang
sangat besar dan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Seorang pemimpin
bisa dengan mudah berbuat salah dan tidak adil. Terkadang, sifat egonya juga
mudah muncul. Untuk itu, saya memohon ampunkan kepada Allah terlebih dahuluagar
Dia membimbing diri saya nanti.
Subhanallah saya ucapkan karena hanya Alla-lah Yang Maha Suci dan
tidak pernah berbuat salah. Sementara manusia adalah tempatnya salah satu dan
dosa. Semoga Allah mensucikan diri saya sehingga segala dosa dan kesalahan saya
selama menjabat nanti diampuni-Nya.
Terakhir, saya mengucapkan Alhamdulillah. Hal ini bukan semata-mata
karena saya naik jabatan tetapi sebagai ungkapan syukur ketika Allah bersedia
memaafkan kasalahan saya saat memimpin dan mensucikan noda-noda yang akan saya
buat nanti. Kalimat ini juga sebagai ungkapan syukur karena Allah bersedia
membimbing saya selama menjalankan kepemimpinan. Kalau boleh, sebenarnya saya
lebih senang memilih posisi yang sekarang. Tidak usah menjadi pemimpin. Sebab,
orang yang akan mendapatkan amanah sebenarnya tengah diuji oleh Allah.”
Demikian penjelasan darinya.
Terus terang saya kagum dengan jawabannya. Di mata sahabat saya itu, betapa
menjadi pemimpin tidaklah mudah. Ia merasa sangat rawan tergelincir ke dalam
lumpur dosa sebab terbebani oleh tanggung jawab yang begitu besar.
Jarang sekali saat ini kita temui
pemimpin yang memiliki kesadaran penuh tentang betapa berat mengemban sebuah
amanah. Kabanyakan manusi justru mengejar jabatan demi memenuhi ambisi pribadi
atau sesuatu yang tidak jelas tujuannya. Tidak jarang untuk memperolehnya
mereka melakukan berbagai cara seperti “jurus katak meloncat”, yaitu berusaha
meraih pujian atasannya dengan cara melakukan semua yang diinginkan sang atasan
meskipun tindakannya itu keliru. Seorang pemimpin yang tidak jeli dengan rayuan
seperti ini pada akhirnya akan mencelakakan dirinya dan orang banyak suatu hari
nanti.
“Jurus katak meloncat” identik
dengan perilaku meningkirkan para pesaing dengan cara yang tidak fair seperti
mencoreng nama dan kredibilitas mereka dengan cara menyebarkan fitnah di depan
sang pimpinan. Musibah tersebut akan semakin besar jika sang atasan tidak melakukan
cek dan ricek terhadap kebenaran informasi. Tersebut sehingga berakibat pada
pengambilan keputusan yang keliru.
Mereka yang tidak memiliki jiwa
kepemimpinan dan meraih jabatan tinggi melalui persaingan yang tidak fair serta
tidak memiliki integritas, kapabilitas, dan kredibilitas pada akhirnya akan
merongrong keutuhan suatu organisasi atau institusi. Manusia dengan tipe
seperti ini akan mudah memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi,
keluarga, dan kroninya serta mengorbankan kepoentingan orang banyak.
Seorang pemimpin tidak pernah
terikat oleh kepentingan keluarga dan kroni-kroninya, namun oleh peraturan dan
hokum yang berlaku. Seorang pemimpin itu harus bertipe ideal, arif, bijaksana,
jujur, tegas dan tidak pandang bulu dalam menegakkan hokum yang berlaku.
Bila hukum bisa dipermainkan maka
akibatnya mudah ditebak. Kekacauan akan terjadi dalam roda institusi. Kebanaran
tidak dihargai dan kejahatan merajalela karena dapat dibeli. Keputusan hukum
diambil secara subyektif.
Sifat lain dari seorang pemimpin
yang hilang pada zaman sekarang adalah pengorbanan. Saat mendapat kebahagiaan
maka yang pertama kali menikmati adalah umatnya, sementara beliau sendiri yang
paling akhir. Ketika mendapat kesusahan beliau sendiri yang merasakannya
sedangkan umatnya beliau upayakan agar tidak turut menanggungnya. Sikap seperti
itu tidak mudah ditiru oleh para pemimpin di zaman sekarang.
Bukankah kekuasaan itu tidak
kekal? Kalau demikian, mengapa seorang pemimpin tidak mau meninggalkan kenangan
terindah bagi kebanyakan orang? Mengapa mereka memilih menukar kehormatan
dengan kehinaan? Bukankah akan lebih baik bila mereka memegang pepatah, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau
mati meninggalkan belang”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar